PASAR Atom Surabaya punya ikatan sejarah yang melekat pada kehidupan
Ken Soetanto muda. Sebab, pria kelahiran 1951 itu sejak belia sudah diajari ayahnya berdagang di sana. Sambil menimba ilmu di sekolah menengah di kawasan Baliwerti, Soetanto merasakan betul pahit getirnya mencari uang.
baca sebelumnya
Di pasar yang terkenal dengan produk kain dan garmen itu, Soetanto mengelola toko elektronik bersama sang kakak. Toko sederhana itu menyediakan berbagai perkakas elektronik, mulai radio, tape recorder, hingga televisi. Soetanto juga melayani servis purnajual lengkap dengan onderdilnya.
Berkat ketekunannya, Soetanto menjadi manajer toko sejak 1968 hingga 1974. Pada 1969, SMA Chung-chung di kawasan Baliwerti, Bubutan, ditutup pemerintah seiring kebijakan anti-Tionghoa kala itu. Akibatnya, Soetanto hanya bisa bersekolah hingga kelas 1 SMA. Tetapi, penutupan sekolah itu memberi hikmah tersendiri. Soetanto jadi makin berkonsentrasi mengurusi toko elektronik. Apalagi, Soetanto juga punya hobi mengutak-utik peralatan elektronik.
Suatu hari, keahlian Soetanto di bidang elektronik mencuri perhatian seorang pelanggannya yang kebetulan berkewarganegaraan Jepang. Orang itu kagum melihat cara Soetanto ’menganalisis’ sekaligus memperbaiki kerusakan radionya.
"Orang Jepang itu lantas menawari Soetanto belajar elektronik ke Jepang. Orang itu tidak menyediakan dana, tetapi hanya kalau mau belajar ke Jepang, bakal difasilitasi," kata Longtjing Tandi, kerabat dekat Prof Soetanto, yang kini menetap di kawasan Pinangsia, Jakarta Pusat, kemarin.
Soetanto langsung tertarik. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, termasuk siap berjauhan dengan orang tua di Surabaya. Keinginannya belajar elektronik tersebut diceritakan ke semua orang. Menariknya, hal itu menjadi bahan lelucon di kalangan kerabatnya.
"Waktu itu ada saudara yang bilang, bagaimana kamu mau belajar ke Jepang, wong letak (negara) Jepang saja tidak tahu. Apalagi, kamu (Soetanto) warga keturunan. Piye toh," kenang Longtjing.
Toh, semua itu tak membuat Soetanto patah arang. Ini dibuktikan dengan langkahnya yang bersemangat mencari tahu bagaimana belajar ke Jepang dari berbagai informasi. Soetanto juga siap memecah celengan untuk ongkos membeli tiket dan biaya hidup beberapa bulan bila sampai di Jepang. Dan, pada 1974, atau saat berusia 23 tahun, Soetanto pun akhirnya jadi juga terbang ke Jepang.
Salah satu ketertarikannya belajar di Negeri Sakura karena inovasi televisi merek Jepang yang semakin tahun menjadi maju. Produk televisi merek Jepang, antara lain, Toshiba dan Sanyo, kala itu menjadi tren karena teknologi transistor memungkinkan bentuk televisi menjadi lebih kecil dan trendi. Ini sekaligus menggantikan teknologi televisi sebelumnya yang menggunakan tabung.
"Saya memang penasaran dengan teknologi transistor. Ini inovasi luar biasa. Sebab, sebelumnya banyak televisi Eropa merek Grundig dan Philips yang tampilannya jauh lebih gede karena menggunakan tabung," kata Soetanto.
Dia benar-benar bermodal nekat. Betapa tidak. Soetanto terbang ke Jepang hanya dibekali uang hasil tabungannya setelah enam tahun menjadi manajer di toko elektronik. Celakanya, Soetanto sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang.
Menurut Longtjing, Soetanto sesampai di Tokyo sejenak menetap di rumah warga Jepang kenalannya sewaktu di Surabaya. Selanjutnya, dia mencari informasi rumah kos di dekat kampus. Soetanto awalnya menginginkan kuliah satu tahun di Electronics Institute dan langsung pulang ke Surabaya.
Tetapi, dia menyadari bakal kesulitan belajar di perguruan tinggi tanpa menguasai bahasa Jepang. "Saya selanjutnya berangkat ke Osaka. Saya belajar singkat tentang bahasa Jepang," jelas Soetanto.
Pria berkacamata itu sempat kesulitan belajar bahasa Jepang karena ada pengajarnya yang menegur, kalau belajar bahasa Jepang di Osaka, harus menggunakan logat Osaka. Dan, lambat laun Soetanto pun akhirnya bisa menguasai bahasa Jepang.
Impian Soetanto baru terpenuhi setelah tiga tahun "hidup menggelandang" di Tokyo. Nama Soetanto keluar sebagai dua di antara 30 pelamar beasiswa mahasiswa asing yang ditawarkan pemerintah Jepang.
Selanjutnya, Soetanto kuliah di TUAT (Tokyo University of Agriculture and Technology) dengan mengambil jurusan teknik elektronik. Selepas mengambil gelar sarjana, Soetanto melanjutkan ke program master dan doktor. Yang menarik, Soetanto mengambil dua program doktor. Yakni, doktor bidang teknik di Tokyo Institute of Technology (1985) dan bidang kedokteran di Tohoko University (1988).
Begitu meraih gelar dua doktor, Soetanto pulang ke Surabaya untuk yang pertama. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkannya untuk menyunting gadis impiannya yang kebetulan teman sebangkunya semasa di SMA Ching-chung. Soetanto dan istrinya terpaksa untuk sementara berjauhan karena kembali masuk ke bangku perkuliahan program doktoral. Istri, orang tuanya, dan mertuanya pun memaklumi tekad bajanya dalam menimba ilmu.
Selang beberapa tahun kemudian, dia menamatkan lagi program doktor bidang farmasi di Science University of Tokyo. Nah, ada kejadian menggelikan ketika beberapa kerabatnya dari Indonesia, termasuk Longtjing, diundang menghadiri wisuda program doktor Soetanto yang keempat.
Sesampai di ruang wisuda, ternyata Longtjing tidak tahu-menahu bidang pekerjaan yang ditekuni kerabatnya itu. Ditanya pekerjaannya, Soetanto hanya bilang sebagai pengangguran. "Dia bilang kerja pengangguran. Kalaupun kerja, itu serabutan," ungkap Longtjing.
Dia tidak percaya dan bertanya kepada keempat profesornya yang kebetulan mengikuti wisuda. Profesor yang mempromotori Soetanto serempak menyatakan bahwa dia adalah aset perguruan tinggi termahal karena kecerdasannya yang luar biasa. "Itu (mahasiswa) nomor satu. Selama lima puluh tahun mengajar di sini (Science University of Tokyo), saya belum pernah punya mahasiswa secerdas dia (Soetanto)," ujar profesor seperti yang dikutip Longtjing. Pendek kata, semua menilai positif kemampuan akademik Soetanto.
Toh, jawaban tersebut tak menghilangkan rasa penasaran Longtjing. Dia justru semakin penasaran mengapa seorang mahasiswa cerdas justru bekerja serabutan.
Soetanto lantas menjelaskan kegalauan Longtjing. Dia menyatakan, iklim pendidikan tinggi di Jepang tidak mendukung seseorang yang cerdas dijamin mendapat posisi penting. "Ini Jepang. Di sini, senioritas masih berlaku. Jadi, kalaupun saya punya empat gelar doktor pada usia 37 tahun, itu belum tentu bisa diterima. Saya perlu antre dulu untuk bisa bekerja seperti mereka," jelas Soetanto.
Penjelasan tersebut akhirnya dimengerti Longtjing. Dan, Longtjing mengusulkan agar dia bisa mengambil program doktor lagi ke AS. Usul Longtjing itu direspons Soetanto. Dan, dia akhirnya memilih terbang ke AS untuk menjadi akademisi di Drexel Unversity dan Thomas Jefferson University, Philadelphia. Di dua universitas tersebut, Soetanto tercatat sebagai associate professor. Otaknya juga diakui akademisi AS terbukti mampu meraih bantuan riset senilai USD 1 juta dari NIH (National Institutes of Health, USA).
Tampaknya, Soetanto tidak bisa bertahan lama berada di komunitas perguruan tinggi di AS. Maklum, selama berada di AS, dia mengaku rindu dengan suasana penuh romantisme dan "etik" Jepang yang hanya ditemukan di Negeri Sakura.
Bak gayung bersambut, profesornya di Jepang, Motoyosi Okujima, kebetulan meminta agar dia balik ke Jepang untuk membesarkan Toin University of Tokyo (TUY). Dan, tawaran tersebut akhirnya memaksa Soetanto kembali ke Jepang pada 1993.
Di TUY, Soetanto mendapat posisi sebagai profesor dan ketua Program Biomedical Engineering Departement of Control and Systems Engineering. Dia juga mendapat jabatan lain sebagai direktur Center for Advanced Research of Biomedical Engineering di TUY yang dibiayai Kementerian Pendidikan Jepang. Jabatan lain yang dijabat hingga sekarang adalah wakil dekan di International Affairs of Waseda University.
Popularitas Soetanto di kalangan akademisi di Jepang pernah terdengar di telinga mantan Presiden RI B.J. Habibie. Habibie yang kala itu menjabat Menristek pada era 1980-an pernah bertemu hingga empat kali untuk meminta Soetanto pulang kampung memperkuat jajaran akademisi di Indonesia.
"Tetapi, Soetanto masih ingin tinggal di Jepang. Saya nggak tahu alasannya menolak pulang ke Indonesia," jelas Longtjing.
Soetanto mengaku belum tertarik pulang ke tanah air karena perhatian pemerintah terhadap akademisi dinilainya kurang. Padahal, kala itu Habibie menawari Soetanto untuk bergabung di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Kendati menolak tawaran pulang, kecintaan Soetanto terhadap tanah kelahirannya tak sedikit pun berubah. Hingga detik ini, Soetanto mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Untuk melepas kerinduan dengan sanak familinya yang tinggal di Jalan Darmahusada, Surabaya, Soetanto biasanya pulang sekali setahun.
Yang menarik, karena masih ada darah Tinghoa, Dubes China di Jepang juga pernah menawari Soetanto berpindah kewarganegaraan ke China. Tawaran itu pun ditolak. "Saya masih WNI. Paspor saya masih Indonesia," tegasnya singkat.
Perjumpaan Habibie dengan Soetanto bisa dibilang tidak sengaja. Suatu ketika, Habibie sedang mengunjungi koleganya beberapa doktor universitas di Tokyo. Soetanto memfasilitasi pertemuan itu dengan menjadi penerjemah (bahasa Jepang) antara Habibie dan para doktor. Suatu ketika, Habibie menyentil siapa penerjemah itu kok fasih berbahasa Indonesia dan Jepang. Pertanyaan Habibie itu dijawab koleganya bahwa dia doktor berkewarganegaraan Indonesia. "Dia mahasiswa program doktoral dengan prestasi jempolan," kata kolega Habibie.
Habibie tenyata pernah menyampaikan keinginannya ’memulangkan’ Soetanto ke hadapan Pak Harto. Karena itu, saat ada kunjungan dinas ke Jepang, Soeharto pernah menemui Soetanto. "Saat itu beliau (Soeharto) juga meminta Soetanto pulang, tetapi tetap ditolaknya," kata Longtjing. Longtjing mengetahui apa pun aktivitas Soetanto karena selama berada di Tokyo selalu berkomunikasi lewat telepon.
Interaksi Soetanto dengan pejabat Indonesia tidak hanya itu. Mantan Wapres Adam Malik pun pernah meminta bantuan Soetanto ketika menjalani perawatan kesehatan rutin di Tokyo. Saat itu, yang memfasilitasi perkenalan Adam Malik dan Soetanto adalah Dubes RI di Jepang Wiyogo Atmodarminto.
Wiyogo yang mantan gubernur DKI benar-benar ketiban sampur karena dimintai bantuan staf Wapres agar mengurus perawatan Adam Malik di sebuah rumah sakit di Jepang. Maklum, tingkat kedisiplinan di Jepang yang begitu tinggi tak memungkinkan memprioritaskan perawatan pejabat sekelas Wapres sekalipun. Artinya, Adam Malik harus tetap antre untuk menjalani perawatan.
Untungnya, Wiyogo mengingat nama Soetanto yang kebetulan menjadi doktor bidang kedokteran dari Tohoku University. Soetanto akhirnya turun tangan. Dan, Adam Malik pun tidak perlu antre untuk menjalani perawatan, bahkan mendapat perawatan eksklusif dari kolega Soetanto